www.portalkabar.id – Pemkab Jember mengumumkan persetujuan terhadap perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2025 baru-baru ini. Dalam rapat yang berlangsung di gedung DPRD, Bupati Muhammad Fawait bersama anggota DPRD menandatangani kesepakatan yang menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam rencana pendapatan dan belanja daerah tersebut.
Pendapatan daerah dalam APBD awal direncanakan sebesar Rp 4,374 triliun, namun setelah dilakukan perhitungan ulang, angka ini meningkat menjadi Rp 4,398 triliun. Kenaikan tersebut dipengaruhi oleh tambahan pendapatan asli daerah dan transfer dari pemerintah pusat.
Pendapatan asli daerah menunjukkan kenaikan yang signifikan, dari Rp 1,072 triliun menjadi Rp 1,154 triliun. Hal ini diperoleh dari peningkatan pendapatan pajak daerah yang mencapai Rp 35,010 miliar serta retribusi daerah yang meningkat sebesar Rp 81,967 miliar.
Meski demikian, terdapat penurunan pada komponen pendapatan dari lain-lain yang sah, dari Rp 44,080 miliar menjadi Rp 9,209 miliar. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam pengelolaan pendapatan daerah yang perlu ditangani lebih serius.
Analisis Pendapatan Daerah dan Kenaikan Pajak
Dalam penjelasan lebih lanjut, kenaikan pajak daerah menjadi salah satu faktor kunci dalam peningkatan pendapatan. Namun, juru bicara Badan Anggaran DPRD Jember, Nilam Noor Fadilah Wulandari, menyebutkan bahwa pengelolaan pajak dan retribusi masih perlu ditingkatkan.
Pemantauan dan evaluasi terhadap pemungutan pajak dikatakan kurang optimal, sehingga pengelolaan sumber pendapatan belum mencapai potensi penuhnya. Hal ini berdampak pada keterbatasan penerimaan yang dapat digunakan untuk pengembangan daerah.
Sebaliknya, pendapatan transfer justru mengalami penurunan, dari Rp 3,302 triliun menjadi Rp 3,244 triliun. Penurunan ini berasal dari transfer dari pemerintah pusat yang turun menjadi Rp 3,063 triliun.
Belanja Daerah: Peningkatan dan Penurunan Item Penting
Dalam aspek belanja, APBD menunjukkan kenaikan total belanja sebesar Rp 268,117 miliar, dari Rp 4,686 triliun menjadi Rp 4,954 triliun. Belanja operasi menjadi komponen terbesar, dengan penambahan yang signifikan dari belanja barang dan jasa.
Belanja barang dan jasa meningkat hingga Rp 167,635 miliar, mencerminkan kebutuhan daerah yang semakin meningkat dalam aspek pelayanan publik. Namun, belanja pegawai justru mengalami penurunan, menunjukkan adanya restrukturisasi kemungkinan untuk efisiensi anggaran.
Selain itu, belanja modal juga mengalami peningkatan, terutama pada item peralatan dan mesin, yang menunjukkan fokus pemerintah daerah terhadap infrastruktur. Namun, pengurangan pada belanja bantuan sosial mengindikasikan adanya prioritas baru dalam pengeluaran.
Tantangan dalam Pengelolaan Belanja dan Sumber Pendanaan
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah berkurangnya dana alokasi umum (DAU) untuk sektor tertentu, seperti Pekerjaan Umum dan bidang irigasi. Penurunan ini menjadi perhatian serius dalam menjaga keseimbangan fiskal daerah yang sehat.
Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2025 menekankan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya dalam jaringan irigasi yang esensial untuk swasembada pangan. Di sini, pemerintah daerah dituntut untuk bergerak cepat dan efisien dalam menggunakan dana yang tersedia.
Lebih jauh lagi, ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat menciptakan tantangan baru dalam hal kemandirian keuangan daerah. Pendapatan asli daerah yang belum cukup menopang belanja publik menjadi isu yang perlu diatasi secara strategis.
Melihat dari sudut pembiayaan, terdapat perubahan dari Rp 317,251 miliar menjadi Rp 561,165 miliar setelah revisi. Kenaikan ini menunjukkan adanya wajah baru dalam pengelolaan anggaran yang lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan.
Dengan catatan bahwa pengeluaran pembiayaan awal di APBD tidak menunjukkan perubahan, baik eksekutif maupun legislatif masih perlu berkolaborasi untuk menyesuaikan antara pendapatan dan belanja. Pembiayaan netto yang bertambah menjadi Rp 556,165 miliar menggambarkan kesehatan fiskal yang perlu dipertahankan.