www.portalkabar.id – Dalam ruang tamu sederhana di Surabaya, terlihat seorang perempuan tua berusia 90 tahun yang memegang erat bingkai foto seorang pria muda beruniform militer. Wajahnya yang terpahat oleh waktu tak mengurangi kebanggaan dan rasa cinta mendalam yang ia miliki untuk sosok dalam gambar tersebut.
Winarti adalah nama perempuan itu, dan matanya yang menatap tajam sudah menyimpan ribuan kisah yang terabadikan dalam ingatannya. Sore itu, keheningan teras mendukung aliran cerita yang kini mulai membanjir dari bibirnya, mengenang masa lalu yang penuh perjuangan dan pengorbanan.
Dengan suara bergetar, Winarti mulai bercerita tentang suaminya, Mardjoeki, seorang pejuang perintis kemerdekaan Republik Indonesia yang gagah berani. Sebuah cerita yang tak hanya menggambarkan cinta, tetapi juga menggambarkan perjalanan panjang hidup di tengah kekacauan perang.
Kisah Cinta di Tengah Perang Mempertahankan Kemerdekaan
Sosok Mardjoeki lahir di Pacitan pada tahun 1927 dan terjerumus ke dalam jalan sebagai tentara Jepang di usia muda. Situasi saat itu memaksa banyak pria untuk bergabung dengan militer sebagai satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup dalam krisis yang melanda tanah air.
Di tengah perang kemerdekaan, Mardjoeki tidak hanya berperan sebagai tentara, tetapi juga sebagai garda terdepan yang melawan pasukan Sekutu, memperjuangkan cita-cita republik baru. Keberaniannya tidak pudar meskipun Indonesia merdeka, ia tetap terlibat aktif dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh.
Pertemuan pertama antara Winarti dan Mardjoeki terjadi pada tahun 1950 di Pacitan. Walaupun suara tembakan senapan mulai mereda, aroma mesiu dan luka-luka sejarah masih tersisa dan mewarnai hidup mereka. Rasa trauma yang dihadapi oleh mereka, menciptakan ikatan emosional yang dalam satu sama lain.
Masa Kecil yang Penuh Ketakutan dan Rindu
Winarti, yang lahir pada 5 Mei 1935, menghadapi masa kecil yang sering dihantui rasa takut. Lingkungan sekitarnya tidak pernah aman, sering kali harus bersembunyi dari kengerian perang. Tak jarang, ia dan keluarganya harus berjalan jauh ke pegunungan untuk menghindari ancaman yang ada.
Ketika berusia 17 tahun, Winarti terpaksa membantu keluarganya berjualan telur ayam kepada tentara Belanda. Dengan susah payah, ia mengingat bagaimana ibunya menempuh jarak bertahun-tahun demi menghidupi keluarga dan memberikan harapan di tengah kesulitan.
Pengalaman masa kecil yang pahit itu membentuk karakter Winarti yang kuat dan mandiri, walaupun masih menyimpan rasa sakit dan kerinduan akan masa yang lebih baik. Walau demikian, kenangan itu terlihat tidak menghapus senyum kecil yang selalu tergurat di wajahnya ketika menceritakan kisah kehidupan.
Kecemasan dalam Kehidupan Rumah Tangga
Setelah menikah, Winarti menemukan bahwa rasa khawatir tak pernah sirna, hanya berganti sebab. Ketika Mardjoeki menerima penugasan, perasaan gelisah seringkali menyelimuti hatinya. Terkadang, ia harus mengurus anak-anak sendirian, menunggu kepulangan suami dengan harapan dan kekhawatiran yang berbaur.
Dengan sabar, Mardjoeki mengajarkan anak-anaknya pentingnya pendidikan dan nilai-nilai disiplin. Ia adalah sosok ayah yang tegas namun selalu mengutamakan ketulusan dalam mendidik dengan penuh kasih sayang.
Pesan-pesannya selalu tertanam di hati anak-anaknya. Winarti dengan bangga menceritakan bagaimana hampir semua anak mereka berhasil mencapai pendidikan tinggi, sebagian menjadi pegawai negeri, membuktikan bahwa ketekunan dan disiplin dapat membuahkan hasil meski dari awal yang sulit.
Nilai Hidup yang Ditinggalkan sebagai Warisan Terbaik
Bagi Winarti, dalam menjalin hidup bersama Mardjoeki, warisan terbesar yang ditinggalkan bukanlah pangkat atau tanda jasa, melainkan nilai-nilai yang terus hidup dalam keluarga mereka. Disiplin, sabar, dan keteguhan hati menjadi landasan kehidupan yang mereka pegang teguh.
Dalam setiap kesempatan, Winarti selalu mengingatkan anak-anak dan cucu-cucunya untuk tidak melupakan sejarah dan perjuangan yang telah mereka lalui. Dia berharap generasi muda dapat menghargai pengorbanan para pejuang dan menyebarkan nilai-nilai tersebut dalam hidup sehari-hari.
Di ujung sore yang tenang, sinar matahari merayap lembut menerangi wajah Winarti yang penuh garis waktu. Mardjoeki, meskipun sudah tiada, tetap hidup melalui kisah dan nilai yang diwariskan. Bagi Winarti, cinta dan kenangan adalah jembatan penting yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.