www.portalkabar.id – Ngawi menjadi saksi sejarah ketika Kejaksaan Negeri di kota ini digugat melalui praperadilan oleh seorang tersangka. Notaris Nafiaturrohmah, yang menjadi sorotan dalam kasus dugaan tindak pidana gratifikasi, berupaya melawan keputusan penetapan dirinya sebagai tersangka dalam pengadaan lahan PT GFT di Desa Geneng, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi.
Pengajuan permohonan praperadilan didaftarkan di Pengadilan Negeri Ngawi dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Ngw. Sidang pertama dijadwalkan pada Senin, 15 September 2025, dengan pihak termohon melibatkan Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Kasus ini muncul di tengah sorotan publik mengenai transparansi dan keadilan dalam proses penegakan hukum.
Kuasa hukum Nafiaturrohmah, yang terdiri dari D. Heru Nugroho dan R. Dwi Priyono, melontarkan kritik tajam terkait penetapan tersangka dan penahanan klien mereka. Menurut mereka, banyak pelanggaran hukum yang mengitari kasus ini, dan penegakan hukum harus diiringi dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip keadilan.
“Hukum harus ditegakkan dengan hati-hati, tanpa melanggar hak-hak individu. Praperadilan menjadi salah satu upaya untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan kekuasaan,” ungkap D. Heru Nugroho dengan tegas.
Dari keterangan resmi yang dikeluarkan oleh kuasa hukum, terungkap bahwa Kejari Ngawi dianggap tidak profesional dalam menangani kasus ini. Penetapan Nafiaturrohmah sebagai tersangka dinilai tidak didukung oleh bukti yang memadai, menciptakan keraguan akan validitas keputusan tersebut.
Prosedur Hukum yang Dinilai bermasalah dalam Kasus Ini
Salah satu isu utama yang diungkap kuasa hukum adalah adanya pelanggaran prosedur hukum yang serius. Pemeriksaan penyidikan yang dilakukan disebut cacat hukum karena tidak adanya izin dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) Wilayah Jawa Timur. Hal ini menggugurkan argumen yang mendasari penyidikan tersebut.
Selain itu, penyidik juga diduga tidak menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Nafiaturrohmah. Keadaan ini dianggap sebagai pelanggaran prosedural yang lebih lanjut menguatkan posisi klien mereka dalam gugatan praperadilan ini. Penetapan tersangka dianggap batal demi hukum, menciptakan ketidakpastian di dalam proses hukum.
Kuasa hukum juga menyoroti adanya dua surat perintah penyidikan dan dua berkas perkara yang berbeda dalam kasus ini. Kejaksaan dinilai tidak konsisten dalam penyelidikan, yang berpotensi merugikan hak-hak hukum Nafiaturrohmah. Selain itu, penahanan yang dilakukan dianggap tidak sah karena berdasarkan surat perintah penyidikan yang baru diterbitkan.
“Kami meminta pemulihan kedudukan hukum klien kami. Notaris adalah pejabat publik yang seharusnya dilindungi hukum, bukan dikriminalisasi sedemikian rupa,” tambah R. Dwi Priyono.
Aspek Keadilan dalam Proses Praperadilan yang Ditempuh
Dari sudut pandang kuasa hukum, praperadilan ini bukan hanya sekadar langkah hukum, tetapi juga upaya untuk menegakkan keadilan. Berharap agar masyarakat dan media turut mengawal proses ini, mereka percaya bahwa perhatian publik dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas di dalam lembaga penegak hukum.
Fundamentalnya, hukum harus diterapkan secara adil tanpa melihat status sosial atau jabatan seseorang. Praperadilan menjadi momen penting untuk menguji keabsahan proses hukum yang dijalani Nafiaturrohmah dan mempertegas komitmen lembaga hukum terhadap keadilan.
Dalam perspektif yang lebih luas, kasus ini bisa menjadi cermin bagi sistem hukum di Indonesia. Lembaga penegak hukum harus memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tidak hanya efektif, tetapi juga berlandaskan prinsip-prinsip keadilan dan integritas.
Penekanan pada hak-hak individu dalam proses hukum menjadi sorotan yang tak bisa diabaikan. D. Heru Nugroho mengingatkan bahwa “Fiat Justitia ruat caelum,” yang berarti keadilan harus ditegakkan meskipun dengan risiko yang mungkin ada.
Harapan dan Tantangan di Depan untuk Kejaksaan Negeri Ngawi
Kejaksaan Negeri Ngawi diharapkan mampu merenungkan praktik penegakan hukum yang terjadi. Proses praperadilan ini tidak hanya menuntut putusan adil bagi Nafiaturrohmah tetapi juga menjadi tantangan bagi institusi untuk mengevaluasi prosedur internal yang ada.
Ketidakpuasan publik terhadap sistem hukum sering kali terwujud dalam kasus-kasus yang mirip. Hal ini menuntut lembaga hukum untuk tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai pelindung hak-hak asasi manusia. Kebijaksanaan dan etika harus menjadi landasan setiap keputusan hukum.
Ke depan, harapan akan sistem hukum yang lebih baik di Indonesia patut dijaga. Kasus ini bisa menjadi titik balik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum. Harapan akan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Dalam setiap alternatif yang tersedia, penting untuk terus menjaga dialog antara penegak hukum dan masyarakat. Hal ini menjadi langkah strategis dalam membangun citra positif bagi lembaga penegak hukum yang ada, termasuk Kejaksaan Negeri Ngawi.
