www.portalkabar.id – Cahaya bulan dan bintang berpendar di langit malam Pantai Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002, menciptakan suasana yang magis. Namun, keceriaan itu tiba-tiba direnggut oleh suara ledakan yang mengguncang pulau, mengubah malam cerah menjadi tragedi tak terlupakan dalam sejarah Indonesia.
Suara musik dari klub malam mengalun merdu, mengundang para pengunjung untuk bergoyang. Cita rasa liburan di Bali, yang dikhayalkan oleh ratusan turis, sirna ketika kengerian menyapa, mengubah gelak tawa menjadi jeritan dan kesedihan yang mendalam.
Pukul 23.05 WITA, ledakan dahsyat mengguncang Paddy’s Pub dan Sari Club, dua tempat favorit turis. Hancurnya bangunan yang sebelumnya dipenuhi keceriaan ini meninggalkan kepanikan, dengan lebih dari 200 nyawa melayang tak terduga, menandai kelamnya peristiwa yang dikenal sebagai Bom Bali 1.
Beberapa menit setelah ledakan itu, bom lainnya meledak di sekitar Kantor Konsulat AS di Denpasar. Asap hitam pekat menutupi langit malam Bali, menggantikan gemuruh musik dengan suara tangisan yang mengguncang hati banyak orang. Peristiwa malang ini menandai momen duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia.
Bom Bali 1 tidak hanya mengguncang Bali, tetapi juga dunia, memperlihatkan aksi brutal yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok ini, yang telah ada sejak 1993, lahir dari konflik internal di kalangan berbagai organisasi Islam di Indonesia, berfokus pada perubahan sistem politik dan ideologi yang mereka anggap lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Sejarah JI berakar pada organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang dibentuk oleh Kartosuwiryo pada 1949. Ketika NII berkembang, muncul juga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang menjadi ancaman serius bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru berdiri.
Informasi dari mantan anggota JI menunjukkan bahwa tujuan utama mereka adalah mengganti Pancasila dengan konstitusi Islam yang lebih murni. Mereka percaya bahwa jihad yang dilakukan oleh kelompok mereka akan membawa Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara menuju sistem Islam yang ideal, sesuai ajaran Nabi.
Aksi-aksi teror yang dilakukan oleh JI, termasuk ledakan bom di gereja-gereja pada Malam Natal 2000 dan serangkaian aksi lainnya, membuat masyarakat merasakan ketakutan yang mendalam. Ancaman yang mereka timbulkan juga membuat kerukunan beragama di Indonesia terguncang, menciptakan stigma negatif terhadap Islam yang memengaruhi banyak orang.
Menanggapi serangkaian aksi teror tersebut, pemerintah Indonesia mengumumkan perang melawan JI pada 21 April 2008, menetapkan organisasi ini sebagai terlarang. Penangkapan massal anggota JI oleh Densus 88 dan aparat lainnya menjadi salah satu langkah agresif untuk menanggulangi aksi terorisme.
Pergeseran Strategi Penanganan Terorisme di Indonesia
Meskipun JI telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang, para anggotanya tetap beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Tak gentar menghadapi tantangan, mereka tetap melakukan aktivitas untuk meraih tujuan yang dianggap luhur meskipun ketakutan akan penangkapan selalu mengintai.
Pasca penangkapan sejumlah pemimpin, JI tampak mengalami kemunduran, diiringi dengan adanya konflik internal terkait strategi jihad mereka. Dalam situasi ini, pemerintah juga mengeluarkan UU No 15 tahun 2003, yang lebih memberdayakan mekanisme penanganan terhadap kelompok ekstremis.
Pentingnya pendekatan yang lebih humanis menjadi sorotan utama dalam penanganan terorisme. Penegakan hukum yang bersifat represif bukanlah satu-satunya solusi; komunikasi dan dialog menjadi alternatif yang perlu diberdayakan untuk mengatasi akar permasalahan.
Dialog dan Pembinaan sebagai Solusi Alternatif
Selama menjalani masa tahanan, anggota JI diberi kesempatan untuk mengkaji dan mendiskusikan paham yang mereka anut. Diskusi ini melibatkan tokoh-tokoh agama dari berbagai organisasi, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang memberikan perspektif berbeda kepada mereka.
Melalui proses dialog ini, para anggota JI mulai menyadari kesalahan tafsir yang selama ini mereka anut. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa banyak dari mereka terjebak dalam pemahaman yang keliru, yang membawa kepada tindakan-tindakan yang merugikan.
Sebagai contoh, mantan Amir JI, Ustadz Para Wijayanto, menjelaskan bahwa 80 persen dari masalah yang ditimbulkan berasal dari sikap mereka yang mudah mengkafirkan orang lain. Hal ini menimbulkan pemahaman radikal yang tidak selaras dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Transformasi dan Kembali ke NKRI
Keinginan untuk kembali ke pangkuan NKRI menjadi kesepakatan di antara para mantan pemimpin JI. Mereka berkomitmen untuk mentransformasikan ideologi dan membangun kesadaran baru tentang beragamnya cara beragama yang moderat.
Bagi mereka, konsep Wasathiyah menjadi pegangan penting untuk menolak ekstremisme. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan toleran, mereka berusaha untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam beragama, yang sejalan dengan semangat kebangsaan.
Ustadz Para Wijayanto menekankan bahwa melalui pendekatan dialog yang dibangun dengan Densus 88, mereka bisa memperbaiki hubungan dengan negara. Melalui komunikasi yang baik, mereka berharap bisa membantu mencegah generasi muda terjerumus dalam pemahaman radikal.