www.portalkabar.id – Polemik mengenai penetapan pajak reklame di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Surabaya terus berlanjut, menjadi sumber ketidakpuasan bagi berbagai pihak. Keputusan untuk menerapkan pajak ini dinilai tidak hanya tidak proporsional, tetapi juga merugikan pemilik SPBU yang merasa keberatan dengan hal ini.
Ben Hadjon, sebagai perwakilan Legal Hiswana Migas DPC Surabaya, mengungkapkan kekecewaannya terkait masalah ini. Ia menekankan bahwa penarikan pajak tersebut tidak didasarkan pada argumen yang objektif dan berlandaskan pada aturan yang jelas.
Isu ini muncul setelah penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) pada tahun 2023, yang menghitung pajak reklame secara retrospektif hingga lima tahun ke belakang. Hal ini memicu kontroversi, mengingat pajak dikenakan berdasarkan peraturan yang baru saja ditetapkan pada tahun yang sama.
Pihak Hiswana Migas telah mengajukan keberatan sebanyak empat kali, namun tanggapan dari Pemerintah Kota Surabaya hanya diterima pada dua surat yang diajukan. Dalam tanggapannya, Pemkot cenderung menolak argumen yang diajukan Hiswana Migas dengan merujuk pada peraturan yang dianggap ambigu.
Ben menyebutkan bahwa norma yang digunakan sebagai rujukan bersifat abstrak dan sangat terbuka untuk penafsiran. Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan polemik yang lebih besar, karena setiap pihak dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Permasalahan Pajak Reklame SPBU Pertamina yang Berlarut-larut
Salah satu pokok permasalahan yang diangkat oleh Ben adalah penerapan pajak berdasarkan dasar hukum yang baru muncul. Dalam hal ini, Perda Nomor 7 Tahun 2023 hanya berlaku setelah ditetapkan, sehingga tidak sah jika digunakan untuk menarik pajak yang berlaku surut. Hal ini jelas melanggar asas hukum yang melarang penerapan aturan surut.
Dalam sebuah rapat dengar pendapat, Hiswana Migas menghadirkan Dr. Titik Puji Rahayu, seorang ahli dari Universitas Airlangga. Ia menegaskan bahwa warna merah pada kanopi SPBU tidak seharusnya dianggap sebagai iklan komersial, melainkan sebagai identitas negara yang seharusnya dihormati. Dalam perspektif ini, penghitungan pajak reklame berdasarkan warna ini dianggap keliru dan tidak berdasar.
Ben Hadjon juga menunjukkan keberatan mengenai penghitungan pajak terhadap kanopi yang tidak terlihat oleh publik. Menurutnya, motif promosional tidak terlihat pada sisi tersebut, yang berseberangan dengan substansi pajak reklame. Hal ini memperlihatkan bahwa ketentuan yang ada tidak sejalan dengan praktik yang seharusnya diterapkan dalam menghitungan pajak reklame.
Ketentuan dalam peraturan yang ada terasa ambigu dan tidak konsisten meskipun telah direvisi beberapa kali. Tindakan penyilangan logo Pertamina di beberapa SPBU juga dinilai merugikan, karena dapat menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat. Hal ini menambah kompleksitas polemik yang sudah ada.
Selain itu, Ben mencatat bahwa pihaknya belum menerima dokumen resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi dasar penetapan pajak. Tanpa dokumen yang valid, sulit untuk menegaskan bahwa penarikan pajak ini benar-benar berlandaskan pada temuan yang sah.
Perbandingan dengan Daerah Lain dan Nilai Pajak yang Dikenakan
Pihak Hiswana Migas menganggap bahwa penerapan pajak reklame di Surabaya tidak sebanding dengan apa yang terjadi di daerah lain, seperti DKI Jakarta. Meskipun peraturan mengenai reklame serupa, hanya di Surabaya yang memutuskan untuk menarik pajak dari warna kanopi SPBU. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan penafsiran yang mencolok.
Total pajak yang ditagihkan kepada hampir 100 SPBU di Surabaya mencapai lebih dari Rp26 miliar. Hingga saat ini, tidak ada satu pun SPBU yang memenuhi kewajiban pajak ini, karena banyak dari pemilik SPBU yang masih menunggu kepastian hukum. Hal ini menggambarkan keadaan yang sangat menjengkelkan untuk para pemilik SPBU.
Kondisi ini memicu diskusi lebih lanjut tentang bagaimana pemerintah seharusnya memandang pajak reklame di sektor ini. Dengan banyaknya ketidakpastian, banyak pemilik SPBU yang merasa tertekan dan bingung tentang langkah yang harus diambil. Kebijakan yang berlarut-larut dan tidak konsisten hanya memperburuk keadaan.
Hiswana Migas menegaskan bahwa mereka akan terus memperjuangkan hak-hak mereka dengan memantau perkembangan situasi dan menunggu jadwal dari DPRD untuk pembahasan lebih lanjut. Keterlibatan legislatif dalam menyelesaikan masalah ini menjadi harapan bagi banyak pemilik SPBU di daerah tersebut.
Di sisi lain, pemerintah seharusnya memperhatikan masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan strategis mengenai pajak. Transparansi dan kejelasan dalam aturan pajak akan menjadi kunci untuk menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan pengusaha di sektor ini.